“Kita menginap disini
pa?” tanya Andita pada ayahnya saat mobil pribadi mereka sampai di
sebuah pelataran Losmen tua dengan papan besar bertuliskan Losmen Kantil
yang bangunannya masih bisa dianggap baik.
“Iya nak, kan kamu tahu, dari tadi kita mencari hotel kesana kemari tapi sudah fully booked.
Tak apalah An toh masih layak untuk ditiduri. Di belakang Losmen ini
ada angkringan yang enak sekali loh. Kamu dan mama harus coba.” Jawab
papa.
Mama yang duduk di
samping papa hanya tersenyum simpul walau kelelahan akibat perjalanan
yang amat padat dari Jakarta. Lantas mereka bertiga pun turun dan segera
masuk ke dalam Losmen.
“Mbak, masih ada
kamar?” Papa langsung menghampiri resepsionis yang berdiri di balik meja
tinggi di bagian terdepan Losmen. Wajah perempuan itu terlihat nampak
ayu di balik seragam batik khas Yogyakarta.
“Kebetulan tinggal 1 pak. Bagaimana?”
Papa dan mama nampak
saling beradu pandang. Namun sepertinya mereka pasrah, mengingat liburan
sekolah yang saat ini tengah berlangsung sehingga hampir semua
penginapan sudah tak lagi memiliki cadangan kamar.
“Ya sudah mbak, atas
nama Sandi Wiguna, tapi minta extra bed ya, soalnya anak saya ini kalau
tidur kaya pemain bola. Hahahaa.” Papa mulai melemparkan candaan khas
lelaki paruh baya.
Seorang lelaki muda tiba – tiba sudah ada di belakang rombongan itu.
“Mas Sur tolong antarkan tamu ini ke 113 ya.” Perintah gadis itu.
“113 mbak? Tapi..” tanya Bell boy itu dengan nada menggantung.
“Sudah mas Sur,
antarkan saja. Sudah tidak ada kamar lagi, kasihan tamu kita ini, sudah
kelelahan.” Jawab gadis itu dengan mimik misterius.
Setelah mengucapkan terimakasih, mereka bertiga mengikuti langkah kaki bell boy yang bernama Sur itu.
“Mohon maaf pak, karena kamarnya belum dibersihkan, bapak dan keluarga boleh menunggu di taman belakang.”
“Oh iya mas, kami akan menunggu disana.” Papa menjawab dengan bijak.
Mas Sur membuka kunci
kamar bergembok emas itu dengan nafas tertahan. Matanya basah. Seperti
ada rasa tertekan yang membuatnya hingga menjadi seperti ini.
“Krek..”
Gembok berhasil
dibuka. Hawa pengap dan bau rayap cukup menusuk. Mata mas Sur semakin
basah. Ia masuk ke kamar tersebut dengan langkah perlahan.
“Permisi para leluhur, saya terpaksa melakukan ini. maafkan saya.” Ucapnya dalam hati.
Kurang lebih lima
belas menit, kamar sudah layak di tempati. Mas Sur lanytas menyusul
keluarga Sandi yang sudah menunggu di taman belakang.
“Silahkan pak – bu.
Jika butuh sesuatu panggil saya saja. Oh ya Pak Sandi, mohon kuncinya
jangan hilang, karena untuk kamar ini tidak ada duplikatnya.” Nada suara
mas Sur terdengar agak aneh.
“Iya mas, matur nuwun sudah diingatkan.” Jawab mama yang memang memiliki garis keturunan Jawa dari eyangku di Solo.
Setelah mas Sur
meninggalkan mereka, ketiganya langsung membereskan isi koper. Mama
memilih mandi. Papa duduk menonton siaran televisi lokal. Sementara
Andita memilih membuka laptop dan browsing tempat – tempat wisata dan
belanja seru di Yogya.
“Arghhhhhhhhh..”
“Mama??????”
Tiba – tiba mama
berteriak dari dalam kamar mandi. Papa yang sedang santai di depan tv
langsung melompat dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Mama keluar dari kamar mandi hanya dengan balutan handuk biru yang dibawa dari rumah. Nafas mama tersengal, dadanya turun naik.
“Kenapa ma? Ada apa?” papa mulai panik.
“Seperti ada yang mengintip dari lubang angin pa.” Jawab mama masih dengan nafas yang tersengal.
“Masa sih? Posisi ventilasinya tinggi loh ma, mungkin perasaan mama saja.” Jawab papa menenangkan.
Andita yang melihat kejadian itu memasang wajah datar. Dari awal ia memang sudah tidak tertarik dengan losmen ini.
“Udah lanjutkan mandinya ma, setelah itu papa dan Andita juga mau mandi. Habis itu kita makan di luar ya.”
Mama mengangguk ragu. Sepertinya ia masih ketakutan. Andita pun kembali dengan laptopnya.
# # #
Pukul 7 malam, mereka bertiga sudah meninggalkan losmen.
“Makan apa ya yang enak?” tanya papa.
“Oseng mercon pa.” jawab Andita semangat.
“Wah boleh juga tuh.” Mama ikut membuka suara tak kalah semangat.
Maka mobil diarahkan menuju sebuah jalan dimana banyak penjaja oseng merchon berderet menjajakan makanan extra pedas tersebut.
Setelah memilah –
milah akhirnya pilihan mereka tertuju pada salah satu tenda lesehan.
Malam itu sangat ramai. Sepertinya yang makan disana bukan hanya turis,
melainkan masyarakat Yogya sendiri. Namun ada kejanggalan. Semua yang
ada disana tak saling bicara satu sama lain. Andita sempat menaruh
curiga, namun ia tepiskan karena ia ingat kebiasaan tradisi Jawa untuk
tidak berbicara di saat makan. Lalu Andita diperintahkan untuk mencari
tikar yang kosong. Gadis tomboy itu pun segera menemui si penjual
makanan dan meminta tempat untuk mereka bertiga. Tak lama kemudian
sebuah tikar kosong sudah digelar. Mama, papa, dan Andita langsung
memilih duduk sebelum keduluan oranglain. 3 porsi oseng mercon pun sudah
siap di depan mata. Tanpa basa – basi ketiganya langsung melahapnya.
Keringat bercucuran efek kepedasan tidak menjadi halangan. Mereka terus
melahap hingga biji cabe terakhir.
Papa lalu memberikan
uang seratus ribuan pada Andita, dan saat itu Andita baru menyadari
bahwa saat ini tinggal mereka bertigalah di tempat itu. Andita mulai
merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Secepat kilat ia mendekati
penjual oseng mercon yang nampaknya sudah mulai mengantuk karena
kelelahan.
“Berapa bu?” tanya Andita pelan.
“Dua ratus lima belas ribu dek.” Jawab si penjual.
Andita terbelalak. Ia
tak menyangka biaya makan di Yogya semahal ini. padahal yang ia dengar
dari teman – temannya bahwa di Yogya biaya hidup murah. Tapi sangat
berbeda dengan apa yang terjadi mala mini. 3 porsi seng mercon, 3 es the
manis dan sebungkus kerupuk udang dihargai dua ratus ribu rupiah.
“Nggak salah bu? Kok mahal banget?”
“Adek tadi kan pesannya 20 porsi. Segitu ya murah dek.”
“Hah? 20 apa bu? Kami Cuma bertiga kok. Tuh lihat.” Andita mulai keras.
“Adek ini kecil – kecil sudah berani ya bohong sama orangtua. Saya nggak buta dek. Itu orangnya aja masih ada.”
Andita mulai takut –
takut menengok kea rah mama papanya yang masih duduk tak jauh dari
tempatnya berdiri saat ini. tapi benar, yang ia lihat kini hanya kedua
orangtuanya. Tak ada lagi.
Papa pun mendengar
keributan kecil tersebut. Ia lantas mendekati keduanya. Andita mulai
menjelaskan duduk permasalahannya. Papa terdiam sejenak, lanytas manggut
– manggut.
“Ya sudah An, ini kasih kekurangannya. Nanti papa jelaskan di mobil.”
Andita pun menyerahkan uang 300 ribu rupiah kepada penual makanan itu dan langsung meninggalkannya tanpa meminta kembalian.
Ketiganya masuk ke dalam mobil, Andita tak sabar menanti cerita dari papa.
“Pa, ada apa sih ini? aneh banget.”
“Memang banyak nak yang sedari tadi mengikuti kita. Hanya saja kita tidak menyadari. Mungkin mereka kelaparan.”
“Mereka siapa pa?”
“Makhluk astral yang tidak bisa kamu lihat dengan mata telanjang.”
“Mereka dari mana asalnya? Apa kita bikin salah sampai mereka ngikutin kita? An takut pa. udah deh kita pulang aja ke Jakarta.”
# # #
13 tahun silam..
“Sur, jangan berikan kamar ini pada siapapun. Termasuk tamu.”
“Iya romo. Akan saya jaga.”
“Bagus, sebab kamu
tahu. Kamar ini hanya boleh dibuka oleh salah satu keturunanku. Sebab
jika tidak, arwah para leluhurku akan keluar dari ruangan ini dan akan
sangat membahayakan banyak orang. Dan 1 Hal lagi Sur, barang siapa yang
berani membuka gembok emas ini, maka dia akan menjadi tumbal para
leluhurku. Kunci ini Cuma 1, tak ada duplikatnya, karena saya sudah
mencoba membuat duplikatnya di tukang kunci manapun tapi tidak ada yang
berhasil membuatnya. Termasuk kau jika berani melanggar petuah ku. Ingat
itu Sur.”
“Inggih romo.”
Suryono orang
kepercayaan Raden Sutjipto Wirokusuman itu memegang janjinya untuk tidak
akan pernah membiarkan kamar itu dibuka oleh orang yang salah. Sudah
belasan tahun Suryono menjadi tangan kanan yang patuh dan taat. Bahkan
hingga Raden Sutjipto wafat.
# # #
Andita dan kedua
orangtuanya kembali ke losmen. Namun betapa terkejutnya mereka saat
losmen tersebut kini sudah dipenuhi banyak orang, termasuk ambulance dan
pihak kepolisian.
“Ada apa ini pak?” tanya papa pada salah satu Polisi.
“Ada pegawai yang mati mendadak pak.” Jawabnya datar.
“Apa?” papa terkejut setengah mati. Ia ingin menembus garis polisi yang sudah menjadi pembatas pintu masuk losmen kantil.
Namun sebelum ia masuk, sebuah tandu keluar dari losmen.
“Astaga, Mas Sur?”
Mulut papa terkatup.
Ia tak sanggup mengatakan apapun lagi. Dan papa lebih terkejut saat ada
seorang pegawai losmen yang tengah memberikan keterangan bahwa Mas Sur
meninggal di kamar 113. Padahal baru sore tadi mas Sur bilang kamar itu
tak memiliki kunci duplikat. Papa meraba saku celananya. Ia gemetar
karena kuncinya masih ada di dalam saku.