Rabu, 28 November 2012

Filafat Cinta PLATO

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? dan bagaimana saya menemukannya?.”Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali. Kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.” Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun. Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?.” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya.” Gurunya kemudian menjawab, “Jadi ya itulah cinta.” Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? dan Bagaimana saya bisa menemukannya?.” Gurunya pun menjawab, “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan.” Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja. Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?.” Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya.” Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.

Bagaimana CINTA SEJATI???




Suatu ketika bertanya seorang awam kepada ahli cinta yang santun. “Coba anda jelaskan kepada saya bagaimana menghadapi persoalan cinta dalam kehidupan ini!” Ahli cinta itu menarik napas panjang kemudian berpuisi:
"Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia walau jalannya berliku-liku. Dan, apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu" (Kahlil Gibran).
“Bagaimanakah caranya agar saya bisa merasakan cinta sejati?” sambung orang itu. “Mudah saja,” jawab ahli cinta, “rasakanlah apa yang kamu rasakan dengan sepenuh hati, dan rasakanlah apa yang tidak kamu rasakan dengan sepenuh hati pula.”
Cinta dimulai dengan sebuah perasaan, sejati dimulai dengan sepenuh hati atau tidak berubah dan cinta sejati dimulai dengan kedua-duanya. Menginginkan cinta sejati merupakan dorongan untuk merasakan apa yang telah  dirasakan dengan sepenuh hati dan apa yang belum dirasakan dengan sepenuh hati. Menginginkan cinta sejati berarti mengharapkan adanya sesuatu yang disebut perasaan yang abadi dan tidak berubah.
Cinta sejati merupakan perasaan yang dirasakan sesorang sejak cinta itu memanggilnya. Berfilsafat tentang cinta berarti telah berterus terang  kepada diri sendiri, bahwa sudah seberapa jauh sebenarnya perasaan yang dicari telah dijangkau. Menjangkau cinta sejati bukanlah suatu hal yang mudah. Tidak mudah untuk menjangkau cinta sejati karena: Pertama, ia adalah perasaan yang harus disatu padukan  dengan kesungguhan dan kesepenuhan hati. Kedua, karena cinta sejati merupakan sebuah komitmen. Untuk menjangkau cinta sejati, seseorang harus bisa mempertahankan atau komitmen terhadap apa yang telah dirasakannya. Ketiga, cinta sejati harus dibarengi dengan ikhlas. Ikhlas menerima kedatangannya, ikhlas dalam menjalaninya, dan ikhlas pula jika sewaktu waktu ditinggalinya.
Untuk menjangkau cinta sejati itu ketiga syarat tersebut harus dipenuhi serta menyatu padukannya.Apabila ketiganya tidak bersatu dan  tidak sejalan maka jangan harap bisa menjangkau cinta sejati itu.
Salah satu contoh bentuk perasaan cinta yang sungguh-sungguh, komitmen dan keikhlasan adalah yang pernah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW terhadap agama yang beliau bawa. Waktu itu kaum kafir Quraisy kehabisan cara untuk menghancurkan islam yang dibawa Nabi Muhammad. Sehingga suatu ketika mereka menemukan satu cara yang mereka anggap akan dapat mempengaruhi Nabi Muhammad. Cara yang mereka temukan adalah melakukan perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW, Kaum kafir mengatakan “ Muhammad, kami tidak akan memerangi umat islam lagi jika kamu mau membagi waktumu dalam beribadah, tiga tahun kami akan beribadah dan menyembah Tuhanmu, dan selama tiga tahun pula kamu harus beribadah dan menyembah tuhan kami”. Karena kecintaan Nabi Muhammad terhadap agama Islam dan beliau komitmen terhadap cintanya, dengan tegas beliau menanggapi ucapan orang kafir itu “Agamamu bagimu dan agamaku bagiku”.
Keputusan yang diambil Nabi Muhammad SAW ini adalah keputusan yang sangat sulit, namun tidak sulit untuk mengambil keputusan jika didalamnya ada cinta sejati. Karena yang sulit itu bukan mengambil keputusannya melainkan mendapatkan cinta sejati itu sendiri. Karena sulit menjangkau cinta sejati itulah, sehinnga tidak semua orang bisa merasakan apalagi memperolehnya. Oleh karenanya orang-orang yang tidak bisa meraih cinta sejati spontan mereka mengatakan cinta sejati itu tidak ada. Dan kebanyakan dari mereka adalah korban putus cinta sesama manusia. Dan kebanyakan dari orang-orang yang mengatakan cinta sejati itu ada, karena mereka bisa mempertahankan hubungan mereka dengan pasangannya. Lagi-lagi diukur dari segi kemanusiaan, mereka lupa ada cinta sejati yang jauh labih penting dari itu, yaitu cinta sejati kepada Tuhan, cinta sejati terhadap Rasul dan cinta sejati terhadap Agama. Sudahkah anda mendapatkan cinta sejati ini? Jika belum, jangan pernah mengatakan cinta sejati itu ada. Karena dengan mengatakan ada sementara belum pernah merasakan apalagi memperolehnya sama saja bohong.