Sabtu, 07 Juli 2012

HANYA SEPARUH HARAPAN

copy of dea rachmawati

Kenalin aku Rara, aku anak rumahan. Aku ngak bermaksud sebagai anak yang ngak uptodate, tapi penyakit aku yang menyarankan semua ini. Aku punya penyakit yang dikenal sebagai penyakit leokimia. Penyakit ini sangat membuat aku seperti ratu. Tetapi aku senang karena semua jadi perhatian sama aku. Dan ngak semuanya enak, ada juga angak enaknya. Ngak enaknya aku jadi tidak bisa mandiri, pergi main sendiri seperti temen – temen aku yang lain.

 Dan setiap hari aku harus cuci darah, kalau ngak gitu aku harus kemo. Aku semakin bosan dengan semua hal – hal yang seringa ku hadapi ini. Hingga suatu saat ada sahabar lama aku yang menjenguk aku, aku sempet lupa dengan penampilannya. Karena dia berbeda saat kita masih berusia 8 tahun dulu, dan sedangkan kita sekarangkan sudah berusia 15 tahun. Sebut saja dia Rora.

Rora yang menjadi teman main aku dirumah. Dia yang slalu menghibur aku, saat aku bosan berada dirumah. Aku juga sangat senang dengan Rora, karena dia juga memberitahu aku bagaimana anak muda sekarang ini dan bagaimana keseruan anak seumuranku dengan teman mainnya. Pokoknya dial ah yang slalu ada buat aku.
Saat aku cuci darah aku meminta kepada papa aku untuk memanggil Rora, dan aku mengancam papa aku kalau tidaka ada Rora aku tidak mau cuci darah. Saat cuci darah berlangsung, tiba – tiba papa aku dipanggil oleh dokter, jadinya aku menunggu papa aku hingga keluar dari ruang dokter. Setelah papa aku keluar dari ruangan dokter, tiba – tiba papa aku membisiskan sesuatu kepada Rora. Setelah berbisisk – bisisk dengan ayah aku Rora pergi entah kemana!!

Cerpen Harapan

Setelah itu hanya beberapa menit para medis dating menghampiri aku, membawakan kereta dorongnya. Aku sudah bisa menebak berarti itulah saatnya aku harus berbaring di rumah sakit. Dokter berkata padaku kalau aku harus semangat,, untuk kata dokter yang ini aku tidak begitu paham dengan maksudnya? Aku bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Papa dan mama aku hanya terdiam membisu, disaat yang bersamaan dokter berkata kepada papaku kalau aku harus tahu yang sebenarnya, aku heran apa yang tidak aku ketahui bukannya papa aku selalu jujur kepada aku.

Saat itu Rora dating dan papa meminta Rora yang bicarakan semua. Kali ini Rora menangis seperti hari ini melihat diriku yang etrakhir. Dia berkata dalam pelukan aku, bahwa penyakit yang aku derita ini tidak adapat disembuhkan karena sudah stadium akhir. Tanpa aku rasa aku mengis saat aku tatap kedua orang tua aku dan saat aku menatap Rora. Akumengucapkkan kata maaf untuk papa aku yang slalu ada buat aku dan mama aku yag telah melahirkan aku dan merawat aku. Serta sahabat special aku yang slalu ada buat temen aku yaitu Rora.

Saat aku di kemo aku hanya berdo’a semoga penyakit ini mengalami kebaikan tidak keburukan. Aku berjuang dalam tidur aku, dan aku berjuang dalam do’a aku. Saat merasa sakit aku tidak mengeluh sepeti biasanya ke dokter. Dan aku percaya bahwa diriku masih bisa hidup. Roar yang melihat aku hanya bisa memberikan semangatnya untuk aku, mama papa aku juga demikian. Aku slalu berdo’a hingga dokter mengatakan aku mengalami kemajuan, yaitu leokimia aku sudah agak membaik, tidak mengalami stadium akhir lagi. Hal itu membuat aku merasa bahagia atas perjuangan aku yang slalu tepat waktu dalam minum obat, dan ketelatenan aku mengikuti terapi.

Papa aku memberikan aku hadiah jalan – jalan ke suatu tempat yang paling ingin aku kunnjungi, aku berkata bawa aku ke taman yang ada di komplek ini saja. Mereka menuruti aku, kami menggelar tikar dan makan – makan bersama, tertawa bersama dan take picture together. Tapi saat kami masih bahagia – bahagianya, tiba – tiba aku pusing dan hidungku mengeluarkan darahtanpa etrasa aku pingsan.

Aku tersadar saat aku telah berbaring di rumah sakit. Aku dalam keadaan yang sangat lemah, aku sempat membuka mataku dan hanya melihat kedua orang tua aku menangis dan melihat Rora menangis. Saat yang bersamaan ada seorang yang memakai baju putih dia berwajah tampan, dia mengajak aku pergi, aku berpikir dia adalaha malaikat yang menjemputku. Tatpi tidak hany disitu aku bberjuang aku berjuang emlawan rohku sendiri yang ingin ikut dengan orang tampan itu. Tetapi aku sudah tidak kuat dan aku mohon kepada orang tampan itu aku ingin menyampaikan kata – kata terakhir yang berarti untuk orang tuanya.

Aku berkata kepada mama dan papa aku agar mengabullkan satu permintaan Rora yang mulia itu. Dan aku juga meminta aku agar aku dikembalikan seperti aku dilahirkan, dan aku juga mengucapakan sampai jumpa kepada mereka semua. Aku melihat dengan rohku dan orang tampan itu bahwa mereka menangisi aku dan membanting – banting badan aku tapi aku hanya terbujur kaku.

Karya
dea rachmawati

Rabu, 04 Juli 2012

Ingat Sur, Jangan Buka Kamar No. 113!

“Kita menginap disini pa?” tanya Andita pada ayahnya saat mobil pribadi mereka sampai di sebuah pelataran Losmen tua dengan papan besar bertuliskan Losmen Kantil yang bangunannya masih bisa dianggap baik.
“Iya nak, kan kamu tahu, dari tadi kita mencari hotel kesana kemari tapi sudah fully booked. Tak apalah An toh masih layak untuk ditiduri. Di belakang Losmen ini ada angkringan yang enak sekali loh. Kamu dan mama harus coba.” Jawab papa.
Mama yang duduk di samping papa hanya tersenyum simpul walau kelelahan akibat perjalanan yang amat padat dari Jakarta. Lantas mereka bertiga pun turun dan segera masuk ke dalam Losmen.
“Mbak, masih ada kamar?” Papa langsung menghampiri resepsionis yang berdiri di balik meja tinggi di bagian terdepan Losmen. Wajah perempuan itu terlihat nampak ayu di balik seragam batik khas Yogyakarta.
“Kebetulan tinggal 1 pak. Bagaimana?”
Papa dan mama nampak saling beradu pandang. Namun sepertinya mereka pasrah, mengingat liburan sekolah yang saat ini tengah berlangsung sehingga hampir semua penginapan sudah tak lagi memiliki cadangan kamar.
“Ya sudah mbak, atas nama Sandi Wiguna, tapi minta extra bed ya, soalnya anak saya ini kalau tidur kaya pemain bola. Hahahaa.” Papa mulai melemparkan candaan khas lelaki paruh baya.
Seorang lelaki muda tiba – tiba sudah ada di belakang rombongan itu.
“Mas Sur tolong antarkan tamu ini ke 113 ya.” Perintah gadis itu.
“113 mbak? Tapi..” tanya Bell boy itu dengan nada menggantung.
“Sudah mas Sur, antarkan saja. Sudah tidak ada kamar lagi, kasihan tamu kita ini, sudah kelelahan.” Jawab gadis itu dengan mimik misterius.
Setelah mengucapkan terimakasih, mereka bertiga mengikuti langkah kaki bell boy yang bernama Sur itu.
“Mohon maaf pak, karena kamarnya belum dibersihkan, bapak dan keluarga boleh menunggu di taman belakang.”
“Oh iya mas, kami akan menunggu disana.” Papa menjawab dengan bijak.
Mas Sur membuka kunci kamar bergembok emas itu dengan nafas tertahan. Matanya basah. Seperti ada rasa tertekan yang membuatnya hingga menjadi seperti ini.
“Krek..”
Gembok berhasil dibuka. Hawa pengap dan bau rayap cukup menusuk. Mata mas Sur semakin basah. Ia masuk ke kamar tersebut dengan langkah perlahan.
“Permisi para leluhur, saya terpaksa melakukan ini. maafkan saya.” Ucapnya dalam hati.
Kurang lebih lima belas menit, kamar sudah layak di tempati. Mas Sur lanytas menyusul keluarga Sandi yang sudah menunggu di taman belakang.
“Silahkan pak – bu. Jika butuh sesuatu panggil saya saja. Oh ya Pak Sandi, mohon kuncinya jangan hilang, karena untuk kamar ini tidak ada duplikatnya.” Nada suara mas Sur terdengar agak aneh.
“Iya mas, matur nuwun sudah diingatkan.” Jawab mama yang memang memiliki garis keturunan Jawa dari eyangku di Solo.
Setelah mas Sur meninggalkan mereka, ketiganya langsung membereskan isi koper. Mama memilih mandi. Papa duduk menonton siaran televisi lokal. Sementara Andita memilih membuka laptop dan browsing tempat – tempat wisata dan belanja seru di Yogya.
“Arghhhhhhhhh..”
“Mama??????”
Tiba – tiba mama berteriak dari dalam kamar mandi. Papa yang sedang santai di depan tv langsung melompat dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Mama keluar dari kamar mandi hanya dengan balutan handuk biru yang dibawa dari rumah. Nafas mama tersengal, dadanya turun naik.
“Kenapa ma? Ada apa?” papa mulai panik.
“Seperti ada yang mengintip dari lubang angin pa.” Jawab mama masih dengan nafas yang tersengal.
“Masa sih? Posisi ventilasinya tinggi loh ma, mungkin perasaan mama saja.” Jawab papa menenangkan.
Andita yang melihat kejadian itu memasang wajah datar. Dari awal ia memang sudah tidak tertarik dengan losmen ini.
“Udah lanjutkan mandinya ma, setelah itu papa dan Andita juga mau mandi. Habis itu kita makan di luar ya.”
Mama mengangguk ragu. Sepertinya ia masih ketakutan. Andita pun kembali dengan laptopnya.
# # #
Pukul 7 malam, mereka bertiga sudah meninggalkan losmen.
“Makan apa ya yang enak?” tanya papa.
“Oseng mercon pa.” jawab Andita semangat.
“Wah boleh juga tuh.” Mama ikut membuka suara tak kalah semangat.
Maka mobil diarahkan menuju sebuah jalan dimana banyak penjaja oseng merchon berderet menjajakan makanan extra pedas tersebut.
Setelah memilah – milah akhirnya pilihan mereka tertuju pada salah satu tenda lesehan. Malam itu sangat ramai. Sepertinya yang makan disana bukan hanya turis, melainkan masyarakat Yogya sendiri. Namun ada kejanggalan. Semua yang ada disana tak saling bicara satu sama lain. Andita sempat menaruh curiga, namun ia tepiskan karena ia ingat kebiasaan tradisi Jawa untuk tidak berbicara di saat makan. Lalu Andita diperintahkan untuk mencari tikar yang kosong. Gadis tomboy itu pun segera menemui si penjual makanan dan meminta tempat untuk mereka bertiga. Tak lama kemudian sebuah tikar kosong sudah digelar. Mama, papa, dan Andita langsung memilih duduk sebelum keduluan oranglain. 3 porsi oseng mercon pun sudah siap di depan mata. Tanpa basa – basi ketiganya langsung melahapnya. Keringat bercucuran efek kepedasan tidak menjadi halangan. Mereka terus melahap hingga biji cabe terakhir.
Papa lalu memberikan uang seratus ribuan pada Andita, dan saat itu Andita baru menyadari bahwa saat ini tinggal mereka bertigalah di tempat itu. Andita mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Secepat kilat ia mendekati penjual oseng mercon yang nampaknya sudah mulai mengantuk karena kelelahan.
“Berapa bu?” tanya Andita pelan.
“Dua ratus lima belas ribu dek.” Jawab si penjual.
Andita terbelalak. Ia tak menyangka biaya makan di Yogya semahal ini. padahal yang ia dengar dari teman – temannya bahwa di Yogya biaya hidup murah. Tapi sangat berbeda dengan apa yang terjadi mala mini. 3 porsi seng mercon, 3 es the manis dan sebungkus kerupuk udang dihargai dua ratus ribu rupiah.
“Nggak salah bu? Kok mahal banget?”
“Adek tadi kan pesannya 20 porsi. Segitu ya murah dek.”
“Hah? 20 apa bu? Kami Cuma bertiga kok. Tuh lihat.” Andita mulai keras.
“Adek ini kecil – kecil sudah berani ya bohong sama orangtua. Saya nggak buta dek. Itu orangnya aja masih ada.”
Andita mulai takut – takut menengok kea rah mama papanya yang masih duduk tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. tapi benar, yang ia lihat kini hanya kedua orangtuanya. Tak ada lagi.
Papa pun mendengar keributan kecil tersebut. Ia lantas mendekati keduanya. Andita mulai menjelaskan duduk permasalahannya. Papa terdiam sejenak, lanytas manggut – manggut.
“Ya sudah An, ini kasih kekurangannya. Nanti papa jelaskan di mobil.”
Andita pun menyerahkan uang 300 ribu rupiah kepada penual makanan itu dan langsung meninggalkannya tanpa meminta kembalian.
Ketiganya masuk ke dalam mobil, Andita tak sabar menanti cerita dari papa.
“Pa, ada apa sih ini? aneh banget.”
“Memang banyak nak yang sedari tadi mengikuti kita. Hanya saja kita tidak menyadari. Mungkin mereka kelaparan.”
“Mereka siapa pa?”
“Makhluk astral yang tidak bisa kamu lihat dengan mata telanjang.”
“Mereka dari mana asalnya? Apa kita bikin salah sampai mereka ngikutin kita? An takut pa. udah deh kita pulang aja ke Jakarta.”
# # #
13 tahun silam..
“Sur, jangan berikan kamar ini pada siapapun. Termasuk tamu.”
“Iya romo. Akan saya jaga.”
“Bagus, sebab kamu tahu. Kamar ini hanya boleh dibuka oleh salah satu keturunanku. Sebab jika tidak, arwah para leluhurku akan keluar dari ruangan ini dan akan sangat membahayakan banyak orang. Dan 1 Hal lagi Sur, barang siapa yang berani membuka gembok emas ini, maka dia akan menjadi tumbal para leluhurku. Kunci ini Cuma 1, tak ada duplikatnya, karena saya sudah mencoba membuat duplikatnya di tukang kunci manapun tapi tidak ada yang berhasil membuatnya. Termasuk kau jika berani melanggar petuah ku. Ingat itu Sur.”
“Inggih romo.”
Suryono orang kepercayaan Raden Sutjipto Wirokusuman itu memegang janjinya untuk tidak akan pernah membiarkan kamar itu dibuka oleh orang yang salah. Sudah belasan tahun Suryono menjadi tangan kanan yang patuh dan taat. Bahkan hingga Raden Sutjipto wafat.
# # #
Andita dan kedua orangtuanya kembali ke losmen. Namun betapa terkejutnya mereka saat losmen tersebut kini sudah dipenuhi banyak orang, termasuk ambulance dan pihak kepolisian.
“Ada apa ini pak?” tanya papa pada salah satu Polisi.
“Ada pegawai yang mati mendadak pak.” Jawabnya datar.
“Apa?” papa terkejut setengah mati. Ia ingin menembus garis polisi yang sudah menjadi pembatas pintu masuk losmen kantil.
Namun sebelum ia masuk, sebuah tandu keluar dari losmen.
“Astaga, Mas Sur?”
Mulut papa terkatup. Ia tak sanggup mengatakan apapun lagi. Dan papa lebih terkejut saat ada seorang pegawai losmen yang tengah memberikan keterangan bahwa Mas Sur meninggal di kamar 113. Padahal baru sore tadi mas Sur bilang kamar itu tak memiliki kunci duplikat. Papa meraba saku celananya. Ia gemetar karena kuncinya masih ada di dalam saku.